Advertisement
Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia |
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, unsur serapan didefenisikan sebagai berikut: unsur adalah bahan asal, zat asal, bagian yang terpenting dalarn suatu hal, sedangkan serapan adalah pemasukan ke dalam, penyerapan masuk ke dalam lubang-Iubang kecil (Poerwadarminta, 1985 : 130 dan 425). Menurut Samsuri (1987 : 50) serapan adalah “pungutan”. Sedangkan Kridalaksana (1985 : 8) memahami kata serapan adalah “pinjaman” yaitu bunyi, fonem, unsur gramatikal atau unsur leksikal yang diambil dari bahasa lain. Kata serapan adalah kata yang diserap dari berbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing, yang digunakan dalam bahasa Indonesia yang cara penulisannya mengalami perubahan ataupun tidak mengalami perubahan.
Kata serapan digunakan oleh Kridalaksana (1988), beliau menyebutkannya sebagai loan words atau kata-kata pinjaman. Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menyebut kosakata asli. Kosakata serapan merupakan kosakata yang diambil atau diserap dari satu bahasa donor dengan penyesuaian kaidah yang ada dalam bahasa penyerap.
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik suatu simpulan bahwa unsur serapan adalah unsur dari suatu bahasa (asal bahasa) yang masuk dan menjadi bagian dalam bahasa lain (bahasa penerima) yang kemudian oleh penuturnya dipakai sebagaimana layaknya bahasa sendiri.
Dalam kamus Poerwodarminto terbitan 1954, tidak akan ditemukan kata-kata seperti blak-blakan, dasawarsa, gambling, menangani, wawancara, mendongkel, asumsi, akselerasi, assembling, eksekutif, editorial, formil, fakultas, (tetapi : fakultet), kontraktor, konflik, memorandum, proyek, rekomendasi, rutin, dan lain-lain. Kata-kata tersebut sekarang menjadi bagian dari bahasa Indonesia yang merupakan pungutan dari bahasa lain dan menyebabkan perubahan pada bahasa Indonesia.
Bahasa adalah alat dan sekaligus bagian suatu kebudayaan tertentu. Sebagai alat kebudayaan tertentu, bahasa itu hendaklah dapat dipakai untuk semua kehidupan di dalam kebudayaan itu; dengan kata lain, hendaklah cukup mempunyai „konsep dan tanda‟ untuk menyatakan kegiatan-kegiatan, baik spiritual maupun material, pada kebudayaan itu.
Perubahan biasa disebut sebagai pertumbuhan, seakan-akan bahasa itu merupakan sesuatu yang hidup. Bahasa hidup manapun tentu mengalami perubahan yang mungkin tidak nampak kepada pemakai-pemakai bahasa itu sendiri di dalam waktu yang pendek, tetapi secara kumulatif dan dalam waktu yang cukup lama akan terlihat dengan jelas perubahan itu. Di dalam keinginanya untuk menyampaikan sesuatu, pemakai bahasa menggunakan bahasanya sebagai alat komunikasi. Untuk menghindarkan ketidak-jelasan, pemakai bahasa sering secara berlebihan menyatakan isi hatinya. Berlebihan (= redundancy, Ing.) ini diungkapkan dengan berbagai cara oleh pemakai bahasa: penggunaan intonasi, pengulangan kata atau ungkapan, pengulangan „konsep‟ dengan „tanda‟ yang lain (= sinonim-sinonim), penjelasan waktu, jumlah kelamin, pemakaian isyarat, dan lain sebagainya.
Tidak heran apabila kemudian ada seseorang bersuku Jawa pemakai bahasa Indonesia yang berkata : “Dengan terus-terang, blak-blakan, saya katakan bahwa pemerintah kurang banyak berusaha meringankan beban rakyat kecil‟. Bahkan seseorang dari suku Jawa seperti itu masih juga menambahkan ungkapan dari bahasanya “tanpa tedeng aling-aling”, yang dipakai untuk menjelaskan sesuatu dengan berlebihan yang seharusnya sudah terwakili oleh kata terus terang, sehingga kalimat di atas menjadi “berlebihan”. Pungutan kata blak-blakan yang berarti “terus-terang”itu diambilnya secara spontan oleh seorang pemakai bahasa Indonesia.
Pungutan yang bersifat sinonim semacam itu disebabkan oleh tidak adanya “konsep dan tanda” di dalam bahasa itu. “Konsep dan tanda” yang menyatakan “sepuluh tahun”, umpamanya, tidak ada dalam bahasa Indonesia (asli), seperti “konsep dan tanda” yang menyatakan “dua puluh (helai, biji, buah, dan lain-lain)” yang dinyatakan oleh kata kodi. Oleh karena itu, seorang pemakai bahasa Indonesia mengemukakan “sepuluh tahun” itu, dengan kata dasawarsa, biarpun kata itu boleh dikatakan suatu “terjemahan” dari “sepuluh tahun”. Mungkin di dalam pikirannya ada kata asing yang menyatakan “sepuluh tahun”, katakan dari bahasa Inggris decade atau kata Belanda decade, yang menyebabkan pemakai bahasa Indonesia itu akhirnya memakai kata dasawarsa untuk menyatakan pengertian itu.
Kemungkinan pula, bahwa pemakai itu mula-mula memang memakai kata asing yang “di -indonesiakan”, yaitu diucapkan sebagai [dekadə], sesuai dengan sistem bunyi bahasa Indonesia. Kemudian ada pemakai lain yang membaca atau mendengar kata decade itu dan ingin “mengaslikannya” menjadi dasawarsa. Mana yang diambil kemudian oleh pemakai-pemakai bahasa Indonesia, dasawarsa-kah atau decade, hal itu masih tetap merupakan pungutan..
Di samping kategori di atas itu terdapat pungutan seperti kata menjajaki dari bahasa Jawa yang boleh dikatakan “lebih murni”, karena tidak disebabkan oleh gagasan asing. Termasuk kategori ini ialah pungutan kata-kata seperti asumsi, akselerasi, asembling, eksekutif, editorial, konflik, kontraktor, proyek, teknokrat, dan lain-lain (Samsuri, 1994: 52).
Samsuri membagi pungutan menjadi beberapa macam, yaitu pungutan leksikal dan pungutan struktural. Pembagian pungutan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Pungutan Leksikal
Sebagian besar pungutan yang terdapat pada suatu bahasa dari bahasa lain adalah bersifat leksikal, artinya kebanyakan pungutan yang bersifat struktural kurang sekali. Bersama pungutan leksikal terbawa pula pungutan bunyi. Dari bahasa asing seperti bahasa Arab, Belanda, dan Inggris dapat disebut pungutan bunyi /f/ ke dalam BI, yang terbawa dalam kata-kata seperti fakir, fana, fakultas, faktor, dan fokus. Hendaknya dapat dibedakan antara bunyi dan huruf yang dipakai untuk menuliskan bunyi bahasa itu. Kata-kata yang dituliskan sebagai <varia>, <universitas>, <televise>, <visum>, di dalam BI diucapkan sebagai [faria [universitas], [telefisi], dan [fisəm]. Jadi secara linguistik yang terpungut adalah bunyi /f/, sedangkan bunyi /v/ tidak terdapat di dalam BI, ataupun tidak terpungut.
Ada bunyi-bunyi dari bahasa asing yang mula-mula terpungut, akan tetapi kemudian karena tidak sesuai dengan sistem bunyi bahasa penerima, maka bunyi-bunyi asing itu hilang dan digantikan oleh bunyi-bunyi yang terdekat di dalam sistem bunyi bahasa penerima itu. Kata-kata BI paham < faham, pikir < fikir,dan pasal < fasal merupakan contoh penyesuaian sistem bunyi ke dalam sistem bunyi BI.
Dari pungutan leksikal itu kita dapat membedakan antara pungutan dialek, pungutan mesra, dan pungutan kultural (Samsuri, 1994: 52). Pungutan dialek adalah pungutan dari dialek-dialek bahasa itu. Pungutan dialek dapat terjadi dari dialek tulisan, tetapi juga dari dialek yang mempunyai prestise yang baik. Contohnya pada kata berisik (= bising), damprat (= memaki-maki), mendusin (= sadar), jambret (= renggut), dan jejaka (= bujangan) dapat dianggap sebagai pungutan dialek yaitu dari bahasa Jakarta yang merupakan salah satu dialek BI (bahasa Melayu Riau). Akan tetapi pungutan dari bahasa Jawa, umpamanya dalam BI, seperti kata-kata ganteng, penggede, gawat, gelintir, leluhur, dan prihatin merupakan pungutan mesra, yaitu dari bahasa lain yang terdapat dalam darah kebahasaan tempat itu (= BI). Pungutan kultural ialah semua pungutan dari bahasa yang tidak dipakai dalam daerah kebahasaan bahasa penerima. Kata-kata seperti fakir, faal, jahiliyah, kiamat, saham (Arab), Pancasila, sapta marga, tuna karya (Sansekerta), harmoni, dosen, juri, embargo, fiskal, klasifikasi (Eropa).
2. Pungutan Struktural
Termasuk pungutan ini ialah semua unsur-unsur bunyi, morfem, dan kalimat. Pungutan bunyi merupakan bagian dari pungutan kata-kata yang disesuaikan dengan sistem bunyi bahasa penerima. Bunyi /z/ di dalam kata zaman, yang mula-mula secara “murni” diucapkan sebagai /z/ kemudian kebanyakan diucapkan oleh pemakai-pemakai bahasa Indonesia yang tidak keasing-asingan sebagai /j/, sehingga kata itu biasa diucapkan sebagai jaman, yang sesuai dengan sistem bunyi bahasa Indonesia dan merupakan penyesuaian. Kata-kata yang ditulis sebagai abad, sabtu, sebab, biasa diucapkan sebagai „abat‟, „saptu‟, dan „sebap‟. Hal ini sebenarnya termasuk penyesuaian struktural karena sistem bahasa Indonesia tidak mempunyai bunyi-bunyi bersuara pada akhir suku.
Pungutan morfem yang menjadi bagian dari kata kurang sekali terdapat pada bahasa penerima. Biasanya morfem-morfem bukan kata, jadi imbuhan-imbuhan terbawa oleh kata yang terpungut. Dari kata-kata abad dan abadi dapat diturunkan imbuhan Arab –i, tetapi morfem Arab ini tidak merupakan morfem pungutan dalam bahasa Indonesia, dalam arti dipakai dalam kombinasi pangkal-pangkal atau dasar-dasar yang lain. Jadi, di dalam hal ini tidak terjadi pungutan imbuhan-i Arab ke dalam bahasa Indonesia. Berbeda halnya dengan kata nasional dan nasionalisme yang dapat menurunkan imbuhan –isme, yang secara produktif membentuk kata-kata baru, tidak hanya dari bahasa asal tetapi juga dari bahasa penerima, seperti marhaenisme, bapakisme, sukuisme, dan lain-lain. Morfem –isme amat produktif karena bergabung dengan dasar-dasar baru, termasuk di dalamnya dasar-dasar bahasa Indonesia asli.
Pungutan kelompok kata, yaitu suatu pembentukan yang bersifat struktural, seperti pungutan morfemis, yang akan menyebabkan adanya terjemahan pungutan. Contoh-contoh di dalam bahasa Indonesia adalah kelompok-kelompok seperti jaringan penguasa (authority of network), pusat-pusat kekuasaan (centre of power), bahkan juga ungkapan-ungkapan seperti dalam analisa terakhir (in the last analysis). Sebenarnya ada pungutan semacam terjemahan pungutan yang menekankan pada maknanya, seperti kambing hitam, latar belakang, dan lain-lain. Termasuk kategori ini juga ialah bentukan-bentukan kalimat yang memakai kata-kata peghubung yang merupakan terjemahan pungutan seperti di dalam mana (in which, Ing. atau waaren, Bel.), di sekitar mana (around which, Ing. atau waaromstreeks, Bel.), di atas mana (on which, Ing. atau waroop, Bel.).
Kadang-kadang terjemahan pungutan semacam itu tidak perlu bila pemakai BI benar-benar menguasai penyusunan kalimat-kalimat bahasa Indonesia, seperti berikut.
(1) Ia sedang mencari kotak, di dalam mana ia menyimpan cincin pemberian ibunya itu.
Kata penghubung di dalam mana pada kalimat (1) mempunyai arti yang sama dengan kata penghubung tempat. Perhatikan pula pada contoh berikut.
(2) Ia tinggal di sebuah bukit di mana terdapat pemandangan indah yang menenteramkan.
Kata penghubung di mana pada kalimat (2) mempunyai arti yang sama pula dengan tempat. Namun akan lebih baik lagi apa bila kalimat tersebut diganti menjadi berikut.
(3) Ia tinggal di sebuah bukit. Di sekitar bukit itu terdapat pemandangan yang menenteramkan.
Pada beberapa contoh kalimat di atas, susunan mana yang akan dipakai, tentulah terserah pada perkembangan bahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari
pungutan-pungutan itu selalu melalui kedwibahasaan, yaitu pemakaian bahasa yang lebih dari satu. Dalam konteks kalimat di atas, pemakai bahasa Indonesia menguasai bahasa Inggris atau bahasa Belanda. Apabila pungutan-pungutan itu itu dipakai pula oleh pemakai lain, maka pungutan-pungutan itu lalu menjadi bagian dari bahasa penerima.
3. Pungutan dalam Bahasa Indonesia
Secara sosiolinguistik masyarakat Indonesia tidak hanya menggunakan satu bahasa, melainkan paling sedikit dua bahasa, yaitu bahasa ibu dan bahasa nasional. Dengan demikian jelaslah nampak pada pemakai-pemakai bahasa di Indonesia, bahwa mereka merupakan tempat atau lokus persentuhan antara bahasa ibu dan bahasa nasional, dan juga pada sementara pemakai bahasa, selain itu merupakan tempat persentuhan bahasa ibu, bahasa nasional, dan bahasa asing. Pungutan dari bahasa Indonesia ini dibagi menjadi pungutan dari bahasa pertama dan pungutan dari bahasa asing.
a. Pungutan dari Bahasa Pertama
Bahasa Indonesia mempunyai pengaruh pengaruh pada bahasa daerah, sebab melalui dwibahasawan-dwibahasawan banyak juga kata-kata Indonesia yang terpakai dalam bahasa daerah yang satu maupun dari bahasa asing, setelah dicerna dalam BI, terbawa pula ke dalam bahasa daerah yang lain. Pungutan-pungutan dari bahasa daerah yang satu ke bahasa daerah lain yang biasanya dari bahasa daerah yang banyak berpengaruh pada BI.
Menurut strukturnya, pungutan-pungutan itu dapat digolongkan menjadi beberapa macam, antara lain: (1) kata-kata dasar, (2) kata-kata kompleks, (3) kata-kata yang berkontruksi kata dasar daerah dengan imbuhan BI. Pungutan yang digolongkan dalam kata-kata dasar antara lain, amblas, bobol, bobrok, heboh, melempem, melongo, mantap, nunggak, ngawur, pamrih, remeh, ruwet,sarana, sepele, seret, semberono, tanpa, tandas, ulet, unggul, susut, upet, wadah, wajar, windu, dan lain-lain. Selanjutnya, pungutan yang digolongkan pada kata-kata kompleks, contohnya antaralain, kadalu warsa, kocar-kasir, kepergok, sesepuh, dan lain-lain. Pungutan terakhir adalah pungutan yang digolongkan ke dalam kata-kata yang berkontruksi kata dasar daerah dengan imbuhan BI yang masih dapat dibagi menjadi dua yakni kata dasar yang tidak dipakai di dalam BI, contohnya mengemban (emban), membangkang (bangkang), menjajaki (jajak), dibarengi (bareng), dan berupa konstruksi dengan dasar dari pungutan ditambah dengan imbuhan BI, contohnya : kewajaran (wajar), keuletan (ulet), kemantapan (mantap), mengganyang (ganyang), diciduk (ciduk), dan menggembar-gemborkan (gembar-gembor).
b. Pungutan dari Bahasa asing
Penguasaan bahasa Belanda dalam jaman penjajahan merupakan ciri kaum elit Indonesia, yang disengaja oleh kaum penjajah untuk memisahkannya dari rakyat. Anehnya saat ini orang Indonesia lebih suka menyelang-nyeling dengan kata-kata asing, karena ingin menunjukkan ke-elitannya dengan menyelipkan kosa kata asing di dalam bahasa daerahnya atau dalam BI-nya.
Hal ini makin diperjelas dengan makin banyaknya bahasa asing yang disisipi kata-kata asing di dalam BI, akibat bertambahnya dwibahasawan Indonesia-asing, contohnya sebagai berikut.
approach 'pendekatan'
applause ‘tepuktangan'
avonturir 'petualangan'
kompleks 'ruwet'
definitif 'pasti'
evaluasi 'penilaian'
estimate 'perkiraan'
elemen 'unsur'
fleksibel 'luwes'
instalasi 'pemasangan'
workshop 'lokakarya'
shopping center 'pusat belanja'
city hall 'balai kota'
community center 'gedung umum'