Advertisement
PENGERTIAN POLITIK DAN PENDIDIKAN FORMAL
1. Politik
Kata politik berasal berasal dari bahasa Yunani “politikos” atau bahasa latin “politica” akar katanya adalah “polis” yang berarti “Negara kota”.1 Sedangkan menurut Amir Faat Nasution politik adalah suatu kebijaksanaan untuk mengatur pemerintahan atau masyarakat dalam bernegara.2
Menurut mini ensiklopedia Indonesia, politik adalah segala yang bersangkutan dengan cara serta kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur negara atau masyarakat suatu negara.3 Dalam perspektif keilmuan, politik merupakan kajian ketatanegaraan tersendiri dalam rumpun ilmu-ilmu sosial bagi mania ilmu politik. Memang perkataan politik sudah sedemikian rupa popular di mana-mana. Oleh sebab itu tidak heran kalau ada yang memahami politik tersebut sebagai kata kolektif yang menunjukkan pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.4
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa politik adalah sebuah kebijaksanaan untuk mengatur pemerintahan atau masyarakat dan juga dipahami bahwa politik adalah suatu cara untuk mendapatkan kekuasaan.
2. Pendidikan Formal.
Pendidikan menurut Crow and Crow adalah pengalaman yang memberikan pengertian pandangan “insight” dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan dia berkembang.5 Sedangkan menurut M. Nursyam dkk, pendidikan adalah sebagai usaha maunusia untuk membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaan.6
Kemudian menurut Abu Ahmadi, Pendidikan menurut etimologi paedagogi berasal dari bahasa Yunani terdiri dari kata “pais” artinya anak dan”again” yang diterjemahkan membimbing. Jadi paedagogi merupakan bimbingan yang diberikan kepada anak.7
Adapun pendidikan formal menurut Noorsyam adalah pendidikan yang dikembangkan di sekolah-sekolah/tempat tertentu, sistematis mempunyai jenjang dalam kurun waktu tertentu serta berlangsung mulai tingkat dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi.8
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal adalah usaha manusia dalam membimbing dan membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan yang dilaksanakan di sekolah/tempat tertentu, sistematis, memiliki jenjang dalam kurun waktu tertentu serta berlangsung mulai tingkat dasar sampai ke tingkat perguruan tinggi.
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN FORMAL
Pendidikan formal dalam pengembangannya tentunya berbeda antara negara maju dengan negara berkembang. Ini disebabkan latar belakang berdiri suatu negara memang berbeda-beda pula dari tinjauan sejarah berdirinya sebagaimana yang terjadi pada negara Indonesia. Bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaan penuh dengan perjuangan para pahlawan dengan pengorbanan jiwa dan raga demi mencapai kemerdekaan. Tentu perlu adanya kerja keras untuk mengisi kemerdekaan yang telah dicapai tersebut yakni dengan mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan handal sehingga mampu bersaing dalam kondisi apapun. Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, peran pendidikan formal sangatlah menentukan.
Dari tinjauan pendekatan pendidikan, pengembangan pendidikan formal di Indonesia lebih mengarah kepada pendekatan permintaan masyarakat. Menurut Harjanto, pendekatan permintaan masyarakat adalah suatu pendekatan bersifat tradisional dalam mengembangkan pendidikan. Pendekatan ini didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, sosial, politik dan kebudayaan yang ada pada waktu itu.9
Dalam Orde Baru, dengan pendekatan permintaan masyarakat, pemerintah membangun lembaga pendidikan formal dari Sabang sampai Merauke yang dikenal dengan sekolah dasar Instruksi Presiden (Inpres). Ini salah usaha yang dilakukan oleh pemerintah guna mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menikmati pendidikan dasar dan usaha pemerintah dalam rangka mencerdaskan bangsa, sebagai amanah pembukaan UUD 1945.
Pada Orde Reformasi, untuk mendukung program tersebut pemerintah juga mengembangkan program wajib belajar 9 (sembilan) tahun serta membebaskan biaya pendidikan dan memberikan dana bantuan pendidikan yang disebut dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Pengembangan dunia pendidikan formal di negara berkembang seperti Indonesia lebih menekankan pada aspek memperbanyak lembaga-lembaga pendidikan formal menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pengembangan pendidikan belum diarahkan pada peningkatan pendidikan yang berorientasi pada penguasaan teknologi dan kemampuan akademik yang lebih mengarah kepada suatu keahlian.
Berbeda dengan negara-negara maju di mana pengembangan dunia pendidikan formal mengarah kepada kemampuan untuk menguasai teknologi dan kemampuan akademik. Di Amerika Serikat misalnya, ada suatu gerakan pengenalan dan pengembangan vokasional serta profesional sedini mungkin sejak subyek didik berada di bangku sekolah dasar.10
Jelasnya, dalam mengembangkan dunia pendidikan formal negara maju menggunakan pendekatan ketenagakerjaan dan pendekatan imbalan yakni sebuah pendekatan yang menurut Harjanto merupakan kegiatan-kegiatan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, sedangkan pendekatan nilai imbalan dipertimbangkan penentuan besarnya investasi dalam dunia pendidikan sesuai dengan hasil keuntungan atau efektivitas yang akan diperolehnya.11
Hal tersebut dapat terjadi oleh faktor latar belakang ekonomi suatu negara, faktor jumlah penduduk atau faktor sosial. Berbagai faktor ini sangat berpengaruh dalam pengembangan dunia pendidikan formal. Dari perspektif faktor ekonomi, semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara maka semakin tinggi pula peluangnya untuk mengembangan pendidikannya. Begitu pula kalau ditinjau jumlah penduduk di negara berkembang tidak seimbang antara pertumbuhan jumlah penduduk dengan jumlah peluang untuk mendapatkan pekerjaan, maka produksi pendidikan yang dihasilkan sering tidak tertampung dalam masyarakat. Dalam perspektif sosial, di negara berkembang masalah sosial lebih rumit dibanding dengan negara maju.
PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM PENGEMBANGAN POLITIK
Dari pengertian politik ataupun pendidikan formal, tersirat suatu pengertian bahwa ada hubungan yang sangat erat antara politik dengan pendidikan formal. Dengan kata lain, keduanya selalu ada keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Ingemar Fagerlind mengatakan bahwa berdasarkan pengamatan para filosuf sosial, ahli ilmu sosial, dan pendidik umumnya sepakat bahwa sistem pendidikan persekolahan ditentukan dan menjadi penentu sistem politik atau secara spesifik menurut tokoh ini dapat dikatakan peranan pendidikan persekolahan itu diantaranya membantu meningkatkan mobilitas dan partisipasi politik bagi siswanya.12
Apa yang dikatakan oleh para ahli ini memang merupakan fenomena yang terjadi pada beberapa negara di dunia. Di Indonesia sendiri dapat terlihat dalam melaksanakan, membuat kebijakan atau mendirikan sebuah lembaga pendidikan selalu menyesesuaikan dengan filosofi pancasila. Karena sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem demokrasi pancasila, maka secara otomatis dalam mengembangkan pendidikan formal harus berlandaskan pancasila sebagai falsafah Negara sebagai mana yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan dalam tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN. Penyelenggaraan pendidikan tentu menggambarkan apa yang diinginkan Pancasila, misalnya dilihat pada tujuan pertama yakni bagaimana membentuk atau menciptakan manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk merealisasikan tujuan ini, maka berdirilah Departeman Agama yang bertugas membina masyarakat Indonesia supaya bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pendidikan nasional tersebut.
Departemen Agama dalam melaksanakan amanat UUD dan tujuan pendidikan nasional tersebut berperan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan Agama misalnya Madrasah, Pondok Pesantren, dan perguruan Tinggi Islam seperti IAIN, STAIN, UIN dan lain sebagainya.
Kemudian kalau dilihat fenomena pendidikan formal menjadi penentu sistem politik juga dapat dilihat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia di mana perkembangan politik semakin membaik atau mengalami peningkatan dari hari ke hari, dan ini terjadi tidak lain adalah karena majunya dunia pendidikan di Indonesia. Fenomena tersebut dapat dilihat pada banyaknya orang-orang yang berpendidikan masuk dalam dunia politik. Bahkan untuk menjadi anggota DPR baik daerah maupun pusat, minimal memiliki Ijazah SMA. Ini artinya bagi mereka yang pernah duduk di bangku sekolah menjadi dasar dan ukuran kepantasan bagi seorang menjadi anggota DPR.
Imam Barnadib berpendapat bahwa peranan pendidikan formal atau sekolah dalam aspek kehidupan politik dapat dilakukan dengan tiga hal sebagai berikut ;
- Sosialisasi politik
- Pemilihan latihan kelompok elite politik
- Intergrasi politik dan pembentukan kesadaran politik nasional.13
Sosialisasi politik adalah proses dimana orang mengadakan interaksi norma dan nilai dari sistem politik negaranya. Kemudian menurut Byron. G dalam bukunya yang berjudul Education and The political system meskipun ada lembaga-lembaga lain yang cukup berperan untuk mensosiolisasikan politik seperti keluarga dan kelompok-kelompok pendidikan non formal, oleh para pengamat sekolah mempunyai peranan terbesar.14
Di negera berkembang sosialisasi politik terutama sekali di Indonesia sangat diperlukan dalam rangka memberikan pemahaman masyarakat terhadap politik itu sendiri, mengingat Indonesia memiliki wilayah luas yang terdiri dari beribu pulau berbagai suku dan agama yang dianut oleh pemeluknya, dan ini harus dilakukan demi untuk memelihara nasionalisme terhadap Negara Indonesia sebagai Negara kesatuan. Dengan kata lain sosialisasi politik secara nasional di Indonesia diharapkan dapat mengatasi aspek-aspek politik yang bersifat kedaerahan misalnya kedudukan bahasa nasional sebagai pemersatu bangsa dapat mengatasi bahasa daerah yang jumlahnya cukup banyak atau paham-paham politik serta budaya yang sifatnya sempit atau berbau kedaerahan tidak ditolerir kehadirannya. Sebab kalau ini terjadi bisa saja dapat mempengaruhi rasa kesatuan bangsa Indonesia dan bahkan bisa merusak rasa kesatuan itu sendiri.
Untuk itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal berada dalam masyarakat dapat diperkirakan dalam sosialisasi politik ini lebih bersifat menanamkan pengetahuan dari pada tingkah laku dan perbuatan. Maksudnya adalah bagaimana seorang siswa betul betul memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu politik, sehingga pengetahuan tersebut dapat merubah prilakunya dalam kehidupan kesehariannya dan pada gilirannya dapat mempengaruhi orang orang di sekitarnya dimana dia berada dengan pengertian lebih menanamkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dengan kata lain sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki kewajiban menanamkan keseimbangan diantara ketiganya ini baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Di samping itu sosialisasi politik juga dapat dilaksanakan selain lewat pendidikan formal juga lewat lembaga keluarga yakni di mana seorang ayah sebagai kepala keluarga diharapkan memegang peranan penting dalam menanamkan kesadaran berpolitik bagi keluarganya dalam rangka membantu memajukan perkembangan politik khususnya di negara Indonesia tercinta ini dan ini juga tidak terlepas dari bagaimana seorang ayah tersebut memiliki prilaku dalam kehidupannya sehari hari yang dapat memberi contoh yang baik seperti melaksanakan kerja sama yang baik antara keluarga, selalu musyawarah tidak mau menang sendiri, menghargai serta menyayangi keluarga. Prilaku prilaku semacam ini juga merupakan salah satu cara untuk menanamkan azas azas demokrasi dalam keluarga. Demikian pula, dalam melakukan sosialisasi politik dalam menyadarkan sistem perpolitikan di suatu Negara, pendidikan non formal juga dapat membantu dalam mensosialisasikan untuk menanamkan kesadaran berpolitik seperti organisasi organisasi kemasyarakatan dan lain sebagainya.
Terhadap kelompok elite politik, dalam rangka memberikan wawasan yang lebih luas, lembaga pendidikan formal hendaknya dapat melakukan kerja sama terhadap kelompok ini, terutama dalam hal pelaksanaan pemberian pelatihan kelompok elite politik. Dalam hal ini perlu adanya pemikiran tentang pemilihan dan latihan terhadap kelompok elite, sebab stabilitas dan kelangsungan hidup dan efektifitas sistem politik tergantung peranan kelompok elite politik yang memegang kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, dalam hal pelaksanaan sistem pemerintahan, kabijaksanaan yang dilaksanakan oleh Presiden terutama dalam hal kebijakan politik juga dalam bidang yang lainnya ini sangat terkait dengan persetujuan kelompok elite yang ada baik di DPR maupun MPR, sebab kalau tidak presiden akan mengalami kendala nanti dalam melaksanakan kebijakan yang dibuatnya. Maka dari itu Presiden untuk memperlancar dalam pelaksanaan pemerintahannya, menggunakan politik koalisi terhadap beberapa partai yang dianggap dapat mendukung sistem pemerintahannya dan ini salah satu strategi yang digunakan Presiden kita pada saat ini, dan tampaknya politik koalisi terhadap kelompok elite politik adalah merupakan pilihan yang sangat tepat. Begitu pula yang terjadi di Amerika Serikat di mana di sana kelompok elite mengawasi dan memegang kunci berbagai hirarchi kekuasaan dan organisasi-organisasi masyarakat modern.15
Memang perlu kita sadari bahwa kelompok ini sangat kecil jumlahnya atau keberadaannya dalam masyarakat akan tetapi dia mempunyai peran yang sangat penting untuk menggerakkan masyarakat dalam arti politik. Oleh sebab itu dalam dunia pendidikan formal diharapkan dapat membantu menghasilkan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam bidang politik atau sering disebut dengan kelompok elite politik.
Pada kenyataannya kelompok elite politik memang sangat kecil kebaradaannya di dalam masyarakat, akan tetapi walau kelompok mereka ini tidak banyak ada di dalam masyarakat tapi keberadaan mereka sangat mempengaruhi masyarakat yang ada di sekitarnya. Ini disebabkan kemampuan yang mereka miliki untuk menggerakkan masyarakat sangat kuat sekali. Oleh sebab itu diharapkan pengaruh yang mereka miliki tersebut dapat membantu kepada perbaikan perbaiki sistem politik yakni mengarah kepada kemajuan sistem perpolitikan yang ada yaitu meningkatnya kesadaran berdemokrasi, rasa kesatuan, kerja sama yang harmonis, seimbang, selaras yang pada akhirnya dapat memajukan bangsa dalam rangka mencapai cita cita bangsa yakni bangsa yang maju dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Rakyatnya sejahtera aman dan damai, dan untuk mencapai hal tersebut tentunya dibutuhkan tokoh tokoh elite yang tangguh, dimana memiliki kemampuan yang tinggi. Dalam hal ini tentunya tidak terlepas dari pendidikan yang mereka dapatkan juga tidak terkecuali pelatihan pelatihan yang mereka dapatkan dalam meningkatkan kemampuan diri mereka tersebut.
Integrasi politik dan pembentukan kesadaran politik nasional tentunya adanya usaha-usaha dilakukan dalam rangka integrasi politik dan pembentukan kesadaran politik nasional pada suatu Negara, tidak ada pemisahan antara politik dengan pendidikan, dan dalam integrasi politik diperlukan timbulnya pengetahuan, kesadaran dan sikap yang serasi mengenai sejumlah ide, norma dan nilai yang merupakan landasan, ciri dan kepribadian suatu bangsa.
Kesemuanya itu adalah hal-hal yang dapat mengatasi aspek-aspek tertentu yang dapat melemahkan integrasi dan persatuan bangsa. Oleh karena itu penanamannya kepada subyek didik memerlukan cara-cara yang teratur dan efektif melalui wahana pendidikan.
Oleh karena pembentukan integrasi dan kesadaran politik itu tidak seyogyanya menghasilkan penguasaan yang verbalistik sifatnya, maka diperlukan pendidikan yang berlandaskan azas-azas demokrasi. Hal ini sejalan dengan gagasan selain subyek didik untuk mengetahui sistem politik dan masalah-masalahnya juga partisipasi aktif untuk mewujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi negara maju atau negara berkembang usaha untuk mewujudkan intergrasi dan kesadaran politik itu menjadi perjuangan tersendiri seperti yang terjadi di Amerika Serikat sebagai negara maju. Untuk mewujudkan masyarakat yang ideal atau melting pot memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun, dengan mengetahui masalah-masalah yang cukup rumit seperti diskriminasi ras, diskriminasi golongan minoritas dan diskriminasi kaum wanita dan lain-lain. Dikriminasi ras saat ini sudah tersingkirkan, dikriminasi kaum minoritas telah menipis dan ada sejumlah negara bagian yang menetapkan ketentuan yang sama tentang hak pria dengan wanita.
Sedangkan untuk negara berkembang memulai integrasi dan pembentukan kesadaran politik dengan wahana pendidikan conditiosine qua non, cukup dapat diamati sebagai akibat sistem pendidikan kolonial masyarakat. Negara berkembang banyak bersifat terpecah belah yang sudah dikenal sejak lama. Pendidikan kolonial itu dilandasi oleh politik bivide et empera. Kenyataan tersebut perlu diatasi dengan sebaik-baiknya dengan pembentukan konsensus nasional dan terwujudnya masyarakat yang stabil dan berkembang.
Di Indonesia integrasi dan pembentukan kesadaran politik nasional harus berlandaskan Pancasila sebagai palsafah dan pandangan hidup bangsa. Konsensus nasional yang kini masih dalam proses pemantapan dalam praktek adalah pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila sebagai salah satu produk sidang umum MPR pada tahun 1978 di semua lingkungan masyarakat, baik dalam bentuk kelembagaan negeri, swasta atau lembaga lainnya, dilakukan kegiatan penghayatan dan pengamalan dalam berbagai bentuk misalnya seperti diskusi atau permainan simulasi, di mana hasilnya akan memantapkan Pancasila falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia.16
Di Indonesia juga sudah terkenal dengan beraneka ragam budaya-budaya daerah, keberadaannya dapat dikembangkan sebagai budaya yang lebih maju demi kemajuan Indonesia ke depan yang pada gilirannya memiliki peradaban yang lebih maju serta mampu bersaing dengan negara lain terutama sekali dalam rangka meningkatkan mobilitas serta kesadaran politik yang lebih baik, yang pada akhirnya mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, sebagimana yang dicita-citakan bangsa Indonesia itu sendiri yakni masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera baik lahir maupun batin.
Kemudian kesuksesan sistem persekolahan dalam pembentukan integrasi dan konsensus nasional dalam bentuk pemberian pengetahuan dan kesadaran politik nasional nyata dan dapat diterima oleh masyarakat, maka dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pendidikan formal cukup berperan dalam pengembangan aspek kehidupan politik pada masyarakat, seperti yang terjadi di Indonesia misalnya setiap pemimpin harus memiliki pendidikan yang tinggi seperti Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati. Mereka rata-rata sekarang ini memiliki pendidikan tinggi dan ini sangat berpengaruh terhadap kepemimpinannya. Begitu pula dengan para anggota lembaga tinggi negara (DPR/MPR) di mana sekarang ini mereka harus memiliki ijazah minimal SLTA sederajat.
DAFTAR PUSTAKA
- Abidin, Ahmad H. Zainal., Ilmu politik Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997
- Ahmadi dkk, Abu., Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2001
- Dahlan, Barry., Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994
- Massalas, Byron. G., Education and the Political system, Boston: Addison Nesley, 1989
- Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Raka Sarakin,1994
- James S Coleman, Education and Development, Prenceton University Press, 1985
- Harjanto, Perencanaan Pengajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997
- Ingemar Fagerlind And Lawcence J Saha., Education And National Development, New York: Pargamen Press, 1983
- I.N Thart & Don Adam, Pola Pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer, Yogyakarta: Andi Ofset, 2005
- Barnadib, Imam., Pendidikan Perbandingan, Yogyakarta: Andi Ofset, 1987
- M. Noorsyam., Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, Malang: Usaha Namla, 1996
- Wahyono, Padmo., Bahan Bahan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1989
- Samin, Suryountoro., Ensiklopedi Indonesia, Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1996
SUMBER ARTIKEL DI ATAS :
- 1 Ahmad Zainal Abidin, Ilmu Politik Islam I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 20
- 2 Nasution Amir Faat, Kamus Politik, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981), hal. 186
- 3 Suryountoro S. Mini, Ensiklopedi Indonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1978), hal. 351
- 4 Barry Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 608
- 5 Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarakin, 1994), hal. 3
- 6 M. Noorsyam, Pengantar Dasar Dasar Pendidikan, (Malang: Usaha Namla, 1987), hal. 49
- 7 Abu Ahmadi dkk, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 68
- 8 M. Noorsyam, Pengantar, hal. 89
- 9 Harjanto, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1997), hal. 35
- 10 Imam Barnadib, Pendidikan Perbandingan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1987), hal. 91
- 11 Harjanto, Perencanaan, hal.43
- 12 Ingemar Figerlind and Lawrence J. Saha, Education and National Development, (Yew York: Pergamon Press, 1983), hal.4
- 13 Imam Barnadib, Perbandingan, hal. 27
- 14 Byron G. Massalas, Education and The Political System, (Boston: Addison Nesley, 1989), hal. 20
- 15 Imam Barnadib, Pendidikan, hal 72
- 16 Padmo Wahjono, Bahan bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1989), hal. 25