Advertisement
Pengertian Human Relations
Tidaklah mudah untuk mencari sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang benar-benar tepat sebagai terjemahan dari istilah human relations. Ada yang menerjemahkan menjadi hubungan manusia dan ada pula yang mengalih bahasakan menjadi hubungan antarmanusia. Memang, secara harfiah terjemahan human relations adalah hubungan antarmanusia. Kendati tidak salah, tetapi terjemahan ini tidak mengandung makna human relations yang sebenarnya, sebab titik berat human relations adalah “human”-nya atau manusianya. Baik pada istilah hubungan manusia maupun hubungan antar manusia tidak terdapat ciri hakiki human relations.
Ciri hakiki bukan dalam human relations bukan human (manusia) dalam pengertian wujud manusia (human being), melainkan dalam makna proses rohaniah yang tertuju kepada kebahagiaan, berdasarkan atas watak, sifat perangai, kepribadian sifat tingkah laku. dan berbagai aspek kejiwaan lainnya yang terdapat dalam diri manusia. Dengan kata lain, faktor manusia dalam relations ini bukan dalam wujudnya, melainkan sifat-sifat, watak, tingkah laku, atau aspek psikis lainnya pada diri manusia.
Dengan demikian terjemahan yang paling mendekati makna dan maksud human relations adalah hubungan manusiawi atau hubungan insani.
Sifat hubungan dalam human relations tidak seperti orang berkomunikasi biasa, bukan hanya merupakan penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain, melainkan hubungan antara orang-orang yang berkomunikasi itu mengandung unsur-unsur kejiwaan yang amat mendalam.
Ditinjau dari ilmu komunikasi, hubungan manusiawi itu termasuk ke dalam komunikasi antarpersona (interpersonal communication) sebab berlangsung pada umumnya antara dua orang secara dialogis. Dikatakan bahwa hubungan manusiawi itu komunikasi karena sifatnya action oriented, mengandung kegiatan untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang.
Komunikasi antarpribadi yang manusiawi berarti komunikasi yang telah memasuki tahap psikologis yang komunikator dan komunikannya saling memahami pikiran, perasaan dan melakukan tindakan bersama. Ini juga berarti bahwa apabila kita hendak menciptakan suatu komunikasi yang penuh dengan keakraban yang didahului oleh pertukaran informasi tentang identitas dan masalah pribadi yang bersifat sosial.
Ruang Lingkup Human relations
Berdasarkan lingkupan human relations terdapat dua pengertian yakni human relations dalam arti luas dan human relations dalam arti sempit.
1. Human relations dalam arti luas
Human relations dalam arti luas adalah interaksi antarmanusia yang biasanya bersifat komunikasi persuasif yang dilakukan oleh seorang kepada orang lain secara tatap muka, dalam semua situasi atau semua bidang kehidupan sehingga menimbulkan kebahagiaan dan kepuasaan hati. Dengan demikian, human relations dalam arti luas dapat terjadi di mana saja, seperti di rumah, di jalanan, dalam kendaraan, dan lain-lain di mana setiap dapat melakukannya dengan komunikasi yang baik sehingga saling memuaskan individu yang terlibat di dalamnya.
2. Human relations dalam arti sempit
Human relations dalam arti sempit adalah komunikasi persuasif yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam situasi kerja dan dalam organisasi kekaryaan atau dalam suatu kegiatan dengan tujuan untuk menggugah, menggairahkan, atau membangkitkan semangat kerja sama yang produktif dengan perasaan bahagia dan puas hati. Contohnya komunikasi kekaryaan antara orang perorangan dalam struktur organisasi formal, perusahaan, termasuk komunikasi antara mahasiswa dengan warga masyarakat dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata,
Kunci Aktivitas dan Tujuan Human relations
Kunci aktivitas human relations adalah memotivasi. Dengan demikian, dalam kegiatan human relationss orang-orang yang berinteraksi di dalamnya harus mampu memotivasi agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan, dengan cara berkomunikasi yang bersifat manusiawi yang pada akhirya mereka mau bekerja, bergerak, atau melakukan seuatu sehingga menimbulkan kepuasan pada kedua belah pihak.
Jadi, sebuah komunikasi yang terjadi baru bisa dikatakan sebagai sebuah Human relations apabila dalam komunikasi tersebut kedua belah pihak saling berinteraksi, berkomunikasi, dan memberikan kepuasan batin serta kebahagiaan bagi kedua belah pihak tersebut.
Bertolak dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa kunci aktivitas human relationss adalah “Hubungan antar insani di mana terjadi komunikasi yang persuasive-sugestif yang memberikan kepuasan batin kepada kedua belah pihak”.
Dalam suatu manajemen, suatu lingkungan kerja, atau suatu kegiatan, human relationss sangat diperlukan. Mengapa? Karena bertujuanuntuk mempererat rasa persaudaraan dan mendapatkan suatu kepuasan dari apa yang telah mereka kerjakan. Selain itu, human relationss diperlukan, karena mempelajari bagaimana orang dapat berkerja atau berinteaksi dengan efektif dalam kelompoknya, sehingga menimbulkan suatu keputusan, dalam pencapaian tujuan bersama maupun pencapaian tujuan personal.
Teknik-teknik Human relationss
Menurut R.F. Maier dalam bukunya, Principle of Human relations, “Hubungan manusiawi dapat dilakukan untuk menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi, meniadakan salah pengertian, dan mengembangkan segi konstruktif sifat tabiat manusia.”
Dalam kegiatan hubungan manusiawi ada cara untuk teknik yang bisa digunakan untuk membantu mengembangkan dimensi konstruktif seseorang, yakni dengan apa yang disebut counseling (karena tidak ada perkataan bahasa Indonesia yang tepat, istilah ini dapat di-Indonesia-kan menjadi konseling).
Tujuan konseling ialah membantu konseli (counselee), yakni seseorang yang menghadapi masalah atau yang menderita frustasi, untuk memecahkan masalahnya sendiri atau mengusahakan terciptanya suasana yang menimbulkan keberanian untuk memecahkan masalahnya. Ini tidak berarti bahwa konselor memberikan arah yang khusus untuk dituruti oleh konseli. Konselor hanya memberikan nasihat. Konseli sendiri yang harus mengambil kesimpulan dan keputusan berdasarkan jalan yang dipilihnya sendiri. Jadi, konselor membantu konseli memperoleh pengertian tentang masalahnya. Selama masalahnya belum dimengerti dengan jelas untuk dihadapinya dengan jujur, tidak akan dapat diambil langkah-langkah pemecahannya. Aspek ini menyangkut perasaan. Konselor akan berhasil apabila ia memahami benar-benar frame of reference konseli, seperti pengalamannya, taraf pengetahuannya, agamanya, pandangan hidupnya, dan sebagainya.
Ini pula yang harus dipahami oleh setiap mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata, terutama bagi mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Sebagai insane intelektual, seorang mahasiswa harus sudah mampu menunjukan kualitas intelektualitasnya dengan membantu masyarakat untuk memecahkan problem yang dihadapinya secara benar, tepat, dan akurat. Dalam kontrek itulah, seorang mahasiswa dapat betindak sebagai konselor, sedangkan masyarakat adalah konseli-nya.
Dalam kegiatan human relations terdapat dua jenis konseling, bergantung pada pendekatan (approach) yang dilakukan. Kedua jenis konseling tersebut ialah directive counseling, yakni konseling yang lansung terarah, dan non-directive counseling yakni konseling yang tidak langsung terarah.
Hambatan Human relations
Hambatan human relations pada umumnya mempunyai dua sifat, yaitu objektif dan subjektif. Hambatan yang sifatnya objektif adalah gangguan dan halangan terhadap jalannya human relations yang tidak disengaja dibuat oleh pihak lain, tetapi mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak menguntungkan. Misalnya, gangguan kebisingan lalu lintas terhadap ceramah di sebuah tempat tepi jalan raya merupakan rintangan yang berisfat objektif. Rintangan atau hambatan yang bersifat objektif ini mungkin pula disebabkan oleh kurangnya kemampuan berkomunikasi, misalnya seseorang memiliki “field of experience” yang tidak “in tune” antara komunikator dan komunikan, pendekatan penyajian yang kurang baik, waktu yang tidak tepat, penggunaan media yang keliru, dan sebagainya.
Hambatan yang bersifat subjektif ialah yang sengaja dibuat oleh orang lain sehingga merupakan gangguan, penentangan terhadap suatu usaha komunikasi. Dasar gangguan dan penentangan ini biasanya disebabkan karena adanya pertentangan kepentingan, prejudice, tamak, iri hati, apatisme dan sebagainya.
Faktor kepentingan dan prasangka merupakan faktor yang paling berat karena usaha yang paling sulit bagi seorang komunikator ialah mengadakan komunikasi dengan orang-orang yang jelas tidak menyenangi komunikator atau menyajikan pesan komunikasi yang berlawanan dengan fakta atau isinya yang mengganggu suatu kepentingan.
Apabila seseorang dikonfrontasikan dengan suatu bentuk komunikasi yang tidak disukainya karena mengganggu kedudukan pendidikan, atau kepentingannya maka orang tersebut biasanya mencemoohkan komunikasi tersebut atau mungkin pula mengelakkan dan secara acuh tak acuh mendiskreditkan pesan komunikasi sebagai hal yang sukar dimengerti.
Gejala mencemoohkan dan mengelakkan suatu komunikasi untuk kemudian mendiskreditkan atau menyesatkan pesan komunikasi, dinamakan evasion of communication.
Persepsi Interpersonal Dalam Human relations
Persepsi kita bukan sekadar rekaman peristiwa atau objek. Komputer hanya mengolah input yang dimasukkan pada waktu punching. Bila pada kolom 12 ditulis tujuh, komputer tidak akan mengubahnya menjadi delapan. Tidak begitu persepsi manusia. Pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya, menentukan interpretasi kita pada sensasi. Bila objek atau peristiwa di dunia luar kita sebut distal stimuli dan persepsi kita tentang stimuli itu kita sebut percept maka percept tidak selalu sama dengan distal stimuli. Proses subjektif yang secara aktif menafsirkan stimuli disebut Fritz Heider sebagai constructive process. Proses ini meliputi faktor biologis dan sosiopsikologis individu pelaku persepsi.
Ada empat perbedaan antara persepsi objek dengan persepsi interpersonal. Pertama, pada persepsi objek, stimuli ditangkap oleh alat indera kita melalui benda-benda fisik: gelombang, cahaya, gelombang suara, temperatur dan sebagainya; pada persepsi interpersonal, stimuli mungkin sampai kepada kita melalui lambang-lambang verbal atau grafis yang disampaikan pihak ketiga. Misalnya, kita mungkin belum pernah baru mengetahu kondisi suatu desa melalui layar televisi, membacanya dari surat kabar, atau mendengar dari teman. Dalam hal ini, adanya pihak ketiga yang menjadi mediasi stimuli, mengurangi kecermatan persepsi kita.
Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi sifat-sifat luar objek itu; kita tidak meneliti sifat-sifat batiniah objek itu. Ketika kita melihat papan tulis, kita tidak pernah mempersoalkan bagaimana perasaannya ketika kita amati. Pada persepsi interpersonal, kita mencoba memahami apa yang tidak tampak pada alat indera kita. Kita tidak hanya melihat perilakunya, kita juga melihat mengapa ia berperilaku seperti itu. Kita mencoba memahami bukan saja tindakan tetapi juga motif tindakan itu. Dengan demikian, stimuli kita menjadi sangat kompleks. Kita tidak akan mampu “menangkap” seluruh sifat orang lain dan berbagai dimensi perilakunya. Kita cenderung memilih stimuli tertentu saja. Ini jelas membuat persepsi interpersonal lebih sulit, ketimbang persepsi objek.
Ketiga, ketika kita mempersepsi objek, objek tidak bereaksi kepada kita; kita pun tidak memberikan reaksi emosional padanya. Perasaan anda dingin saja ketika anda memandang papan tulis; tetapi sedingin itu jugakah ketika anda memandang seorang artis misalnya? Apakah artis itu juga juga akan diam saja ketika Anda memandangnya tidak berkedip? Dalam persepsi interpersonal faktor-faktor personal Anda, dan karakteristik orang yang ditanggapi serta hubungan anda dengan orang tersebut menyebabkan persepsi interpersonal sangat cenderung untuk keliru. Lagipula kita sukar menemukan kriteria yang dapat menentukan persepsi siapa yang keliru: persepsi anda atau persepsi saya.
Keempat objek relatif tetap, manusia berubah-ubah. Papan tulis yang anda lihat minggu yang lalu tidak berbeda dengan papan tulis yang kita lihat hari ini. Mungkin tulisan pada papan tulis itu sudah berubah, mungkin sobekan kayu di sudut sudah hilang tetapi secara keseluruhan papan tulis itu tidak berubah. Manusia selalu berubah. Anda hari ini bukan anda yang kemarin, bukan anda esok hari. Kemarin anda ceria karena baru menerima kredit mahasiswa Indonesia. Hari ini sedih karena sepeda motor anda ditabrak becak. Esok anda gembira lagi karena ujian anda lulus. Anda di fakultas bukan anda di rumah bukan anda di masjid. Perubahan ini kalau tidak membingungkan kita, akan memberikan informasi yang salah tentang orang lain. Persepsi interpersonal menjadi mudah salah.
Anehnya betapapun sulitnya kita mempersepsi orang lain, kita toh berhasil juga memahami orang lain. Buktinya kita masih dapat bergaul dengan mereka, masih dapat berkomunikasi dengan mereka dan masih dapat menduga perilaku mereka. Dari mana kita memperoleh petunjuk tentang orang lain? Apa yang menyebabkan kesimpulan kita bahwa X bersifat Y? Kita menduga karakteristik orang lain dari petunjuk-petunjuk eksternal (external cues) yang dapat diamati. Petunjuk-petunjuk itu adalah deskripsi verbal dari pihak ketiga, petunjuk proksemik, kinesik, wajah, paralinguistik dan artifaktual. Selain yang pertama, yang lainnya boleh disebut sebagai petunjuk non verbal (non verbal cues). Semuanya kita sebut faktor-faktor situasional.
Konsep Diri Dalam Human relations
Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain; kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi persona penanggap tetapi persona stimuli sekaligus.
Menurut Charles Horton Cooley, kita bisa menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self (diri cermin) seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu (Vander Zanden, 1975: 79).
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang konsep diri dapat dilacak sampai William James. James membedakan antara “The I” diri yang sadar dan aktif dan “The Me” diri yang menjadi objek renungan kita. Pada psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi, konsep diri dikembangkan oleh Charles Horton cooley (1864 – 1929), George herbert Mead (1863 – 1931) dan memuncak pada aliran interaksi simbolis yang tokoh terkemukanya adalah Herbert Blumer. Di kalangan Psikologi sosial yang berorientasi pada psikologi, konsep diri tenggelam ketika Behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943, gordon E. Allport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham Maslow (1967, 1970) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema utama Psikologi Humanistik.
William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social and psycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interactions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others” (1974: 40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi sosial dan fisis.
Jendela Johari terdiri dari 4 bingkai. Masing-masing bingkai berfungsi menjelaskan bagaimana tiap individu bisa memahami diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan orang lain.
- Bingkai 1, menunjukkan orang yang terbuka terhadap orang lain. Keterbukaan itu disebabkan dua pihak (saya dan orang lain) sama-sama mengetahui informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan lain-lain. Johari menyebutnya “bidang terbuka”, suatu bingkai yang paling ideal dalam hubungan dan komunikasi antar pribadi.
- Bingkai 2, adalah bidang buta. “Orang Buta” merupakan orang yang tidak mengetahui banyak hal tentang dirinya sendiri namun orang lain mengetahui banyak hal tentang dia.
- Bingkai 3, disebut “bidang tersembunyi” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal diketahui diri sendiri namun tidak diketahui orang lain.
- Bingkai 4, disebut “bidang tidak dikenal” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal tidak diketahui diri sendiri dan orang lain.
Model Jendela Johari dibangun berdasarkan 8 asumsi yang berhubungan dengan perilaku manusia. Asumsi-asumsi itu menjadi landasan berpikir para kaum humanistik.
- Asumsi pertama, pendekatan terhadap perilaku manusia harus dilakukan secara holistik. Artinya kalau kita hendak menganalisa perilaku manusia maka analisis itu harus menyeluruh sesuai konteks dan jangan terpenggal-penggal.
- Asumsi kedua, apa yang dialami seseorang atau sekelompok orang hendaklah dipahami melalui persepsi dan perasaan tertentu meskipun pandangan itu subjektif.
- Asumsi ketiga, perilaku manusia lebih sering emosional bukan rasional. Pendekatan humanistik terhadap perilaku sangat menekankan betapa pentingnya hubungan antara faktor emosi dengan perilaku.
- Asumsi keempat, setiap individu atau sekelompok orang sering tidak menyadari bahwa tindakan-tindakannya dapat menggambarkan perilaku individu atau kelompok tersebut. Oleh karena itu, para pakar aliran humanistik sering mengemukakan pendapat mereka bahwa setiap individu atau kelompok perlu meningkatkan kesadaran sehingga mereka dapat mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain.
Aplikasi Human relations dalam Menghadapi Masyarakat Desa
Bagi para mahasiswa, khususnya peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang langsung diterjunkan ke desa-desa, konsep human relations sangat diperlukan. Hal ini karena salah satu tujuan dari diadakannya (KKN) adalah untuk mewujudkan transformasi pengetahuan dari mahasiswa sebagai kaum intelektual kepada masyarakat desa.
Dalam hal ini, aspek utama yang perlu diperhatikan adalah dengan mengenal lebih dahulu cirri-ciri masyarakat pedesaaan. Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri masarakat desa sebagai berikut :
- Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
- Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
- Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme).
- Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
- Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.
Sesuai dengan tujuan KKN untuk Community dan Personal Empowerment, maka hal-hal terkait bagaimana memahami perilaku masyarakat desa menjadi penting bagi keberhasilan program KKN yang akan di buat.
Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”. Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui. Setidaknya, ini menjadi salah satu wacana bagi kita yang akan bersama-sama hidup di lingkungan pedesaan.
1. Sederhana
Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan.
Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal:
a. Secara ekonomi memang tidak mampu
b. Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.
2. Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada:
a. Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya
b. Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”
3. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”
Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan atau “unggah-ungguh” apabila:
- Bertemu dengan tetangga
- Berhadapan dengan pejabat
- Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan
- Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi
- Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya
4. Guyub, kekeluargaan
Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka.
5. Lugas
“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki.
6. Tertutup dalam hal keuangan
Biasanya masyarakat desa akan menutup diri manakala ada orang yang bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang tersebut belum begitu dikenalnya. Katakanlah, mahasiswa yang sedang melakukan tugas penelitian survei pasti akan sulit mendapatkan informasi tentang jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka.
7. Perasaan “minder” terhadap orang kota
Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara langsung ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak banyak omong.
8. Menghargai (“ngajeni”) orang lain
Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.
9. Jika diberi janji, akan selalu diingat
Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan program pembangunan di daerahnya.
Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka dalam” yang begitu membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh kecil: mahasiswa menjanjikan pertemuan di Balai Desa jam 19.00. Dengan tepat waktu, mereka telah standby namun mahasiswa baru datang jam 20.00. Mereka akan sangat kecewa dan selalu mengingat pengalaman itu.
10. Suka gotong-royong
Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh kawasan Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.
11. Demokratis
Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input dari warga.
12. Religius
Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban, Jumat Kliwonan, dll.
Kesebelas karakteristik tersebut, pada saat ini tidak bisa digeneralisasikan bagi seluruh warga masyarakat desa. Ini disebabkan oleh adanya perubahan sosial religius yang begitu besar pengaruhnya dalam tata pranata kehidupan masyarakat pedesaan. Dampak yang terjadi meliputi aspek agama, ekonomi, sosial politik, budaya dan pertahanan keamanan. (ingat: kasus kerusuhan yang terjadi di beberapa pedesaan di pulau Jawa)
Selanjutnya, tentu setelah mengetahui berbagai cirri dan karakteristik masyarakat desa tadi kita perlu belajar untuk menykapi dan beradaptasi. Berikut ini adalah beberapa cara menyikapi atau beradaptasi dengan masyarakat desa.
Bersikap “andhap asor”
Sebagai “komunitas tamu” yang berasal dari luar komunitas masyarakat desa seyogyanya kita mengambil posisi yang “merendah” atau minimal “seimbang” sekalipun secara materi dan intelektualitas lebih tinggi mereka.
Bersahabat
Sifat arogan harus dikikis habis, diganti dengan perilaku yang bersahabat dan “sumedulur” (bersaudara). Sebagai tamu sudah semestinya tidak bersikap arogan dan menunjukkan sifat dan perilaku kekotaan.
Menghargai
Sebagai reaksi atas sikap kekeluargaan dari masyarakat desa, sepantasnya kita juga menghargai mereka.
Sikap menghargai ini dapat diberikan dalam hal:
- Memahami pola pikir mereka yang berbeda kontra dengan pola pikir kita
- Menerima pemberian sesuatu sebagai bentuk “tresno” (kasih sayang) mereka kepada kita.
- Memahami pola hidup mereka yang jauh berbeda dengan pola hidup kita
Sopan santun
Dalam rangka mengikuti adat/istiadat/kebiasaan yang berlaku di desa maka sudah selayaknya kita menyesuaikan diri, diantaranya:
- Dalam hal berpakaian, sebaiknya tidak mengenakan pakaian “ala kota”.
- Dalam gaya hidup, sebaiknya tidak menunjukkan sikap yang menurut mereka “pamer materi”. Misalnya: ber-handphone ria ditengah-tengah mereka, ber-walkman ria sambil berbicara dengan mereka.
- Dalam hal berbicara, sebaiknya tidak menggunakan kata-kata/kalimat yang hanya bisa dipahami oleh kalangan mahasiswa. Misalnya: bahasa Inggris/bahasa “ngilmiah”.
Terbuka
Sebagai reaksi positif atas keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat desa maka seyogyanya kita juga menunjukkan sikap terbuka kepada mereka, misalnya:
- Jika tuan rumah sudah berbicara apa adanya tentang menu makanan sehari-hari maka jika kita memang kurang suka sebaiknya “ngomong”. Contoh: Si A tidak suka makan mie. Sebaiknya ngomong ke tuan rumah daripada nggerundhel.
- Jika keluar dari rumah pondokan sebaiknya menjelaskan secara terbuka: mau kemana, dengan siapa dan kapan pulang. Hal ini penting, karena biasanya mahasiswa sudah dianggap sebagai anak sendiri.
Membantu tanpa pamrih
Mengacu pada karakteristik gotong-royong yang dimiliki masyrakat desa, maka sudah semestinya kita menyesuaikan dan mengikuti kebiasaan itu. Bekerja dan membantu masyarakat desa tanpa pamrih. Dengan senang hati mengikuti setiap acara tradisional (misal: kenduri) yang diadakan di desa. Sekalipun tetap memperhitungkan waktu kerja program COP.
Tempat waktu
Demi menjaga kepercayaan masyarakat desa, sebaiknya perlu diperhatikan ketepatan waktu dalam setiap acara peretemuan yang melibatkan orang banyak. Hal ini sangat penting agar masyarakat desa juga menaruh kepercayaan kepada kita sehingga sosialisasi program dan keterlanjutan pelaksanaannya dapat terjaga.
Silahturahmi
Sebagai “tamu asing” sudah menjadi kebiasaan yang lumrah jika kita harus melakukan silaturahmi (= memperkenalkan diri) kepada warga masyarakat desa agar didalam melakukan sosialisasi dan pelaksanaan program tidak mengalami hambatan hanya dikarenakan belum kenal. Silaturahmi ini dapat dilakukan secara formal maupun informal.
Misal:
- Ketika melakukan sosialisasi ketemu warga desa, sebaiknya langsung memperkenalkan diri (informal)
- Perkenalan diri secara formal di Balai Desa (formal)
“Srawung”
Selama menjalankan program KKN sebaiknya kita tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat desa sehari-hari. Jangan sekali-kali kita mengucilkan diri dan seolah membentuk kelompok “eksklusif orang kota”.
Gotong-royong
Partisipatif, ini kata kuncinya ! Dalam menjalankan program kerja jangan sampai meninggalkan prinsip dasar, yaitu PARTISIPASI MASYARAKAT. Pada dasarnya program dapat berjalan karena ada partisipasi, baik dari seluruh anggota kelompok maupun masyarakat setempat. Memunculkan minat berpartisipasi tidaklah mudah, karena itu dibutuhkan komitmen yang tinggi yang diawali dari diri sendiri.
Demokratis
Mencermati iklim demokrasi yang juga sudah merambah di desa, hendaknya kita bersedia mengikuti proses yang berlangsung. Karena itu, dalam merencanakan dan melaksanakan program kita harus melibatkan BPD (Badan Perwakilan Desa). Ini juga berarti kita menghargai proses demokrasi dalam sebuah “lembaga” yang namanya desa.
Religius
Menyikapi kenyataan ini, secara psikologis kita tidak perlu khawatir atau bahkan takut karena justru akan menyulitkan kita untuk bersosialisasi. Sikap menghargai, itulah yang mesti kita kembangkan ! Kita mesti tahu diri disaat masyarakat desa sedang menjalankan ibadah agamanya. Karena itu dalam menyusun suatu kegiatan, pertimbangan faktor “lima waktu” sangat penting untuk diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
- Efendy, Uchjana. Drs. Prof. 2002. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
- Efendy, Uchjana. Drs. Prof. 1993 . Human Relations dan Public Relations. Bandung: CV. Mandar Maju.
- Ruslan, Rosady. 1997. Manajemen Humas dan Komunikasi. Konsepsi dan Aplikasi.
- Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada.
- Ruslan, Rosady. 1999. Praktik dan Solusi Public Relations Dalam Situasi Krisis dan
- Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
- Uchjana, Onong, Efendy. 1979. Human Relations dan Public Relation. Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.